Kamis, 07 Oktober 2010

Faktor Bawaan Vs Faktor Lingkungan


Perdebatan mengenai manakah yang lebih dominan antara faktor bawaan dan faktor lingkungan dalam penentuan tingkat intelegensi seseorang sampai saat ini tetap terus berkembang.  Baiknya kita lebih dulu mengerti arti heretabilitas. heretabilitas adalah konsep mengenai sejauh mana suatu sifat dapat diwariskan. Dengan konsep tersebut, kita dapat menentukan proporsi variasi suatu sifat yang disebabkan oleh faktor keturunan sekaligus menentukan proporsi suatu sifat yang ditentukan oleh faktor lingkungan.

Faktor bawaan berasal dari kandungan gen yang ada didalam diri seseorang. Faktor turunan disebut juga faktor herediter. Faktor herediter menentukan batas dan kemungkinan yang dapat dilakukan oleh organisme dalam lingkungan hidupnya (Azwar, 2010: 72). Awal mulanya, manusia berkembangan dari pembuahan sel telur dan sperma dan masing-masing berisi 23 kromosom. kromosom-kromosom tersebut berisi struktur faktor-faktor herediter. Dalam kromosom tersebut, disanalah terdapat gen. Gen inilah yang menentukan sifat-sifat unik dari hidup seseorang, bagaimana seseorang memiliki mata coklat, badan yang tinggi, rambut keriting dan sebagainya.

Faktor lingkungan berasal dari behave atau kebiasaan seseorang dalam sehari-hari, pengalaman belajar seseorang, budaya, dan pola asuh yang diterima oleh seseorang. Seorang anak bisa memiliki skor IQ yang tinggi, namun apabila tidak diimbangi dengan pemberian stimulus yang positif maka hasilnya tidak seimbang dengan kemampuan intelegensi yang dimilikinya. 

Dari dua paragraf diatas, sejatinya seseorang dipengaruhi oleh faktor warisan yang diberikan selama kandungan dan juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal. Namun dalam hal ini, tidaklah sama peranan keduanya dalam membentuk suatu karakter individu. Mungkin saja dalam suatu sifat A yang lebih dominan adalah faktor bawaan dan dalam suatu sifat B yang lebih dominan adalah faktor lingkungan.

Untuk mengetahui sejauh mana peran kedua faktor tersebut, kita dapat mengetahui melalui beberapa penelitian (Azwar, 2010) yaitu:

1. Hereditas Terkendali dan Lingkungan Bervariasi

Dimana dalam penelitian model seperti ini ingin dikethaui apa dampak lingkungan yang bervariasi pada kembar identik yang dibesarkan dalam lingkungan yang sama dan kembar identik yang dibesarkan dalam lingkungan terpisah dengan melihat perbedaan tingkah laku mereka dalam menanggapinya.

2. Lingkungan terkendali dan hereditas bervariasi

Sebelumnya, menurut Azwar, menempatkan suatu manusia dalam lingkungan yang terkendali adalah sebuah hal yang mustahil untuk dilakukan. Oleh karena itulah dalam penelitian model seperti ini dilakukan pada hewan karena hewan lebih mudah dicegah atas pengaruh dari luar yang tidak terkendali.

3. Studi Kemiripan Keluarga

Mempelajari kemiripan yang terjadi antara anak-orang tua, antara saudara kandung, antara anak-keponakan, antara kembar identik, dan antara kembar fraternal. Bila hereditas memang memiliki pengaruh signifikan terhadap individu dan pengaruh lingkungan terkontrol maka mereka yang memiliki hubungan yang lebih dekat tentu akan lebih mirip satu sama lain.

4. Studi Sejarah Keluarga

Mengetahui melalui silsilah keluarga atau garis keturunan dari beberapa generasi. Studi sejarah keluarga dapat menunjukkan adanya bukti-bukti akan efek faktor keturunan sekalipun tidak meustahil pula menghasilkan bukti tanpa adanya pengaruh lingkungan.

Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan secara awal bahwa kedua faktor tersebut sangatlah berpengaruh bagi intelegensi seseorang. Mari kita ingat teori Cattel yang menjelaskan tentang dua jenis kemampuan mental yakni fluid intelligent dan crystallized intelligent, dimana ada kemampuan mental yang memang bawaan sejak lahir dan tetap mendapat pengaruh dari budaya dan pengalaman belajar seseorang terhadap kemampuan mental yang dimilikinya.

Kalau menurut kalian, mana sih yang lebih dominan atau memang keduanya sama-sma membawa pernanan penting dalam menentukan tingkat intelegensi seseorang?


Sumber Bacaan: Azwar, Saifuddin Dr. 2010. Pengantar Psikologi Intelegensi. Pustaka pelajar: Yogyakarta


         


Rabu, 06 Oktober 2010

EGOISME PSIKOLOGIS


Egoisme Psikologis

           Apakah yang melandasai kita untuk melakukan sesuatu demi orang lain? apakah memang didasarkan dari dalam diri ataukah memang ditujukan untuk orang yang baru saja kita tolong?

“Menurut teori egoisme psikologis bahwa setiap tindakan manusia dimotivasikan oleh kepentingan diri. Kita boleh yakin diri kita luhur dan suka berkorban, tetapi hal itu hanyalah ilusi. Dalam kenyataannya, kita peduli hanya pada diri kita.”( Rachels, 2004). Orang yang paling baik-pun yang terbilang paling dermwan diantara yang lain pasti memiliki motif-motif tertentu yang berasal dari dalam diri yang membuatdirinya melakukan kegiatan dermawan tersebut. setidaknya minimal ornag tersebut ingin mendapatkan balasan dari Tuhan atas perbuatannya itu, ingin mendapatkan kebahagiaan untuk kehidupannya.

Sehingga disini kita masuk kedalam dua argumen yakni yang pertama apakah yang kita kerjakan untuk menyesuaikan dengan apa yang kita inginkan. Yang kedua apakah yang kita kerjakan dapat membuat kita sejahtera. Lagi-lagi kita kembali pada pemikiran bahwa perbuatan altruisme sekalipun pasti didasari oleh motif yang ada dalam diri.

Benarkah kita melakukan perbuatan altruisme seakan-akan untuk orang lain? jika memang seperti itu adanya, tidakkah dalam diri kita muncul perasaan takut apabila tidak menolong nantinya ketika kita membutuhkan pertolongan tidak ada seorangpun yang akan menolong kita.

Tentunya setiap orang melakukan berbagai kegiatan didasari atas motif tertentu. Bisa saja orang bertindak karena rakus, karena marah, nafsu, merupakan sebuah kewajiban, karena khawatir, karena takut dan sebagainya.

Menurut Hobbes ada dua motif umum yang melandasi manusia untuk berbuat sesuatu untuk orang lain. yang pertama adalah cinta-kasih dan yang kedua adalah belas kasih. Cinta kasih merupakan kesenangan yang diperoleh seseorang dalam memperlihatkan kekuatan dalam dirinya. Sementara belas kasih lebih pada menaruh simpati pada orang lain atas apa yang telah kita lakukan. Dari kedua motif umum tersebut kemudian kita masuk kedalam sebuah pemikiran yang lebih kompleks lagi mengenai kepentingan diri. Sebenarnya apa yang kita lakukan adalah apa yang kita rasa penting untuk dilakukan. Sebenarnya apa yang kita lakukan adalah apa yang dapat membuat kita senang, dan apa yang kita lakukan sebenarnya adalah apa yang dapat membuat kita nikmat.

Perlunya kita membedakan antara berkutat diri (self-fishness) dengan kepentingan diri (self-interest) dan dengan mencari kenikmatan (pursuit of pleasure). Jika kepetingan diri, kita melakukan sesuatu tanpa mengganggu kepentingan yang lain, murni apa yang kita lakukan berdampak langsung pada diri kita. sementara mencari kenikmatan lebih menekankan bahwa kita melakukan banyak hal yang menyenangkan. Sementara apa itu berkutat diri? Berkutat  diri adalah tindakan yang kita lakukan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain dan hanya terfokus dengan apa yang sedang ingin kita lakukan. Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa tidak ada kegiatan yang semua karena kita ingin berkutat diri atau semua perbuatan yang kita lakukan demi kepentingan diri.

Menjadi pembahasan menarik bagi kita mengenai egoisme psikologis itu sendiri. Kembali pada masing-masing dari kita, motivasi apakah yang mendasari kita untuk melakukan sesuatu?

 

 

Sumber Bacaan:

Rachels, J., 2004. Filsafat Moral  (Terjemahan) Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

 

 

--:--